
Setiap pasangan suami istri tentu mendambakan kehidupan rumah tangga yang penuh kebahagian lahir dan bathin. Karena kehidupan seperti itulah yang menjadi salah satu tujuan pernikahan.
Namun, pada kenyataannya tidak semua keluarga meraih cita-cita yang satu ini. Mungkin, dalam masa-masa awal mereka bisa merasakan kebahagian, tapi biasanya kebahagian itu justru hanya berlangsung sebentar, kalau setiap individu tidak mampu bersikap toleran terhadap pasangannya.
Menurut Prof. Dr. H. Dadang Hawari, masa-masa awal dalam membina rumah tangga biasanya merupakan masa yang rentan terhadap perceraian. Beliau berpendapat,
Mengapa demikian? Masa-masa awal kehidupan rumah tangga merupakan masa pengenalan pasangan kita sesungguhnya. Pada masa pacaran, setiap orang tentu menunjukan sikap terbaiknya, dan menyembunyikan sifat-sifat buruknya yang diyakini dapat mengganggu hubungan percintaan mereka, sehingga setiap individu hanya mampu melihat sisi baik dari calon pasangan hidupnya itu.
Ketika keduanya memasuki jenjang pernikahan, satu persatu sifat-sifat yang selama ini mereka tutupi mulai terbuka. Bagi sebagian orang, hal itu mungkin tidak menimbulkan masalah serius. Dengan komitmen yang kuat di antara mereka, dengan mudahnya hal-hal seperti itu mereka hadapi dengan penuh toleransi. Akan tetapi bagi orang lain, terbuka sifat-sifat yang kurang bisa ia terima dari pasangannya, bisa menimbulkan shock dan tekanan psikologis yang besar. Pada saat itulah bulan madu yang indah perlahan mulai memudarmenjadi hari-hari panjang yang penuh dengan tekanan.
Jika sudah demikian, apalagi yang terlintas dalam setiap pasangan selain bercerai? Perceraian memang menjadi jalan satu-satunya bagi orang-orang yang tidak mampu berdamai dengan dirinya sendiri, dan terpenjara dalam egonya yang besar.
Padahal, dalam situasi seperti ini, sesungguhnya perceraian masih dapat dihindari, kalau setiap individu mau bersikap toleran, menerima kekurangan pasangannya masing-masing dan berusaha secara bersama-sama memperbaiki diri.
Jika kekurangan pasangan kita itu bukanlah sesuatu yang sangat prinsipil, hendaknya kita berusaha mempertahankan pernikahan suci itu. Lihatlah kekurangan kita sendiri, niscaya kita menyadari, betapa pasangan kita pun harus rela menerima kekurangan yang kita miliki. Apakah kita mengira bahwa pasangan tidak memerlukan perjuangan dan pengorbanan keras untuk menerima kekurangan kita? Tentu saja ia pun harus mengorbankan egonya sendiri untuk menerima kekurangan kita. Kalau begitu, mengapa kita tidak mampu mengorbankan sedikit kepentingan kita untuk menerima kekurangan yang tidak prisipil tadi?
Dalam Islam, perceraian memang dibolehkan, terutama dalam keadaan yang sangat memaksa atau darurat. Misalnya, kalau pasangan yang kita nikahi ternyata suka menyiksa dan menimbulkan penderitaan fisik, atau ia hendak mengajak kita untuk keluar dari agama Allah atau hal-hal yang banyak mudharatnya dan tidak bisa diperbaiki lagi. Pada saat inilah perceraian menjadi pintu darurat yang boleh kita lalui.
Akan tetapi, jika persoalan yang kita hadapi hanyalah masalah-masalah sepele dan bukan prinsipil, untuk apa kita berkeras hati untuk bercerai? Mengapa kita tidak berusaha untuk memperbaikinya? Jika masih ada pintu lain yang penuh pahala dan rahmat, mengapa kita harus membuka pintu darurat yang dibenci Allah? Cerai adalah pintu darurat yang dibenci Allah.
Rasullah SAW bersabda, “perkara halal yang paling dibenci Allah ialah talak (perceraian)” (H.R. Abu Daud dan Ahmad)
No comments:
Post a Comment